Sunday, April 23, 2006

PSSI TIDAK PROFESIONAL

PSSI TIDAK PROFESIONAL
Kompas, Edisi Maret 2006

Arema dan Persipura gagal “menari-nari” di tingkat asia. Dua duta bangsa ini tidak bisa mengikuti pertandingan yang paling bergengsi di Asia karena keteledoran PSSI yang terlambat meregistrasikan kedua klub ini. Maka pantas saja banyak pendukung menyesalkan kinerja PSSI. Banyak kasus yang menunjukan kalau PSSI seperti lembaga kampung yang hanya bisa “ngurusi” sepakbola tarkam (antarkampung). Belum lagi korupsi yang “menggila” di PSSI, tentu saja perlu disorot PSSI yang dipimpin pengusaha yang tidak jujur dan sering terjerat kasus kriminal. Maka, saatnya PSSI harus dikepung dengan protes, saran, dan kritik kita semua. Karena olahraga adalah ajang menunjukkan kejujuran dan sportifitas. Dan PSSI sudah mengkhianati sendiri filsafat olahraga ini. Dan mungkin ungkapan para pendukung Arema yang Militan dalam aksi protes minggu lalu ada benarnya, Arema Duta Bangsa, PSSI Tuna Susila. Harus segera ada pemberontakan terhadap PSSI yang cacat moral ini dan diganti sistem dan orang baru.


E. Musyadad
Warga Epistoholik IndonesiaJl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Mari Menilang Polisi

Mari Menilang Polisi
Surya, 6 Maret 2006

Jalur kota Jombang ke arah Kertosono, sering terjadi “pengintaian” oleh polisi. Kebanyakan kasus yang terjadi adalah pelanggaran marka. Tindakan ini baik, karena mengantisipasi potensi kecelakaan. Yang tidak baik adalah pelanggaran ini dapat dibayar dengan uang, bukannya ditilang. Hal yang sama terjadi di Kandangan. Kalau tidak di utaranya pasar (pasar Kandangan kearah Jombang) biasanya terjadi di selatannya pasar (pasar Kandangan kearah Malang). Tetapi di Kandangan ini bukan pengintaian, melainkan operasi. Tindakan ini juga baik, karena mengantisipasi potensi curanmor dan pelanggaran lainnya. Sekali lagi yang tidak baik adalah pelanggaran ini dapat dibayar dengan uang, bukannya ditilang. Saya sendiri pernah melanggar marka di Kertosono. Menariknya, karena saya mengaku wartawan, pak polisi itu berbaik hati memperbolehkan kami terus berjalan. Namun, sebelumnya kami sempat negoisasi dan bersepakat harga Rp.30 ribu kalau tidak mau ditilang. Pengalaman ini tidak hanya terjadi pada diri saya, banyak teman-teman saya yang mengalalami hal serupa. Artinya, pak polisi memang memiliki dua tradisi, ditilang atau dibayar, tinggal negoisasi.
Catatan ini tentunya buruk bagi wajah kepolisian kita. Sebagai penegak hukum seharusnya pak polisi yang harus tegak dulu, tahan banting, dan tahan dari godaan apapun. Untuk mempercepat penegakan ini kita juga harus ikut urun pekerjaan. Misalnya dengan mencatat, melaporkan pak polisi yang masih saja mau disuap dan sering kali mencari-cari kesalahan para pengendara. Saya sudah memulai hal ini, menilang (mencatat) polisi mana yang sering “dirasani” banyak orang tersebut. Mungkin suatu saat tinggal mempublikasikannya.

KETERANGAN: tulisan ini juga dimuat di Kompas Edisi April 2006

E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419
Pesta Blogger 2008