Monday, September 18, 2006

SURAT UNTUK BUPATI JOMBANG

SURAT UNTUK BUPATI JOMBANG
Kompas Edisi Jatim, 19 September 2006

Yang Terhormat Pak Bupati Jombang, dengan ini saya ingin menyapa anda dengan sebuah cerita sebagai berikut:
Pada sebuah Minggu pagi jam 08.00 WIB (10 September 2006) saya berkeliling Kota Jombang menggunakan sepeda onthel. Saya sempatkan masuk ke gang-gang kecil yang tidak pernah saya lewati sebelumnya. Aduh, alangkah tiba-tiba mata saya terbelalak. Ditengah kota yang sedang membangun citra adipura, Kota Jombang ternyata masih belum bisa maksimal mengangat kesejahteraan rakyatnya. Kemiskinan itu ternyata masih sangat nyata di tengah-tengah kota sekalipun.
Perjalanan tetap saya teruskan masuk gang satu ke gang lain, hingga akhirnya sampai ke Pasar Legi, pusat pasar di Jombang. Namun, jalanan macet. Ada penutupan tiba-tiba. Ternyata puluhan pasukan kuning sedang menyapu ditengah jalan di belakang mobil penyangkut air. Jalan A. Yani disemprot dengan air dan puluhan orang dibelakangnya menyapu jalan secara bersamaan. Hal ini sama persis yang terjadi di jalan A. Wahid Hasyim seminggu yang lalu. Kemudian, saya menebak-nebak, pasti proyek “nyapu dan ngepel” jalan ini adalah bentuk dari upaya Kota Jombang untuk mendapat julukan Kota Adipura. Benarkah Pak Bupati?
Saya menjadi berpikir, di satu pihak kemiskinan saja masih nyata di tengah kota, disisi lain Pemerintah Jombang justru mencari muka dengan bersih-bersih kota, sampai jalanan saja dipel. Sebuah kebijakan yang saya kira sama sekali tidak sensitif kesejahteraan rakyatnya. Pak Bupati, dengan surat ini saya mengingatkan bahwa staff anda (Dinas tertentu) telah salah membuat kebijakan. Dengan surat ini pula saya usul, agar pemerintah Jombang membangun jalan khusus sepeda ontel yang selama ini telah ada di jalan A. Wahid Hasyim, khususnya di jalan Merdeka dan jalan A. Yani. Jalan khusus untuk sepeda onthel dan becak ini akan memberi manfaat besar bagi warga kota yang relatif miskin seperti Jombang dimana mereka hanya mampu mengunakan transportasi non motor untuk mobilitasnya. Dari pada untuk proyek yang sia-sia semacam Adipura, saya pikir lebih memberi akses yang luas terhadap warganya dalam transportasi. Surat ini sekaligus saya tembuskan kepada seluruh bupati dan wali kota se-Indonesia. Demikian, terima kasih

E Musyadad
Anggota Perhimpunan Sepeda Onthel Jombang dan Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Monday, August 21, 2006

MATA UANG RUPIAH, SEJARAH YANG HILANG

MATA UANG RUPIAH, SEJARAH YANG HILANG
Surya, 16 Agustus 2006

Mata uang adalah identitas bangsa. Kalau kita bilang yen, pasti ingatan kita melayang ke Negara Jepang. Rupee, kita akan memikirkan Negara India. Dan kalau uang rupiah, maka itulah uang yang kita pakai untuk transaksi di seluruh wilayah Indonesia. Mata uang juga menjadi identitas sebuah Negara. Namun, saya jadi merenung apa sebenarnya arti kata dari rupiah itu sendiri. Selama ini saya tidak tahu, dari kata apa rupiah itu, apa artinya dan mulai kapan digunakan. Selama ini tidak ada buku yang menjelaskan seluk beluk dari rupiah. Padahal, setahu saya mata uang dari negara-negara lain ada artinya. Yen misalnya, artinya 'bulat'. Ditetapkan ketika mata uang Jepang diganti dari bentuk persegi ke bentuk bulat. Rupee, dari pengertian dasar perak. Atau Franc, mata uang Perancis, berasal dari Francorum Rex (sebuah tulisan latin yang artinya 'Raja dari Frank'. Bagaimana dengan rupiah kita ini? Tidak banyak yang tahu. Justru desas-desusnya yang banyak dibicarakan orang. Ada yang mengatakan berasal dari nama satu “perempuannya” Bung Karno. Ada juga yang mengatakan rupiah adalah dialek lokal untuk Rupee India. Dari pada simpang siur dan tidak jelas, ada baiknya segera dijelaskan sejarah rupiah kita. Mungkin penulisan sejarah khusus dari a sampai z tentang rupiah sangat penting, setelah kita merdeka 61 tahun. Dirgahayu RI.

E. Musyadad
Warga Epistolohik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

PDAM, MEMBERI AIR BERLUMPUR

PDAM, MEMBERI AIR BERLUMPUR
Kompas Jatim, 16 Agustus 2006

Setelah geger bencana lumpur yang disebabkan oleh PT Lapindo di Sidoarjo, sebenarnya di Jombang juga ada bencana lumpur yang disebabkan oleh PDAM. Paling setiap dua bulan sekali, air PDAM yang mengalir ke bak mandi bercampur dengan lumpur. Kasus ini tidak hanya terjadi di satu rumah saja, tetapi tetangga saya juga mendapat kiriman yang sama. Bahkan tetangga sebelan dusun juga mengalami kasus yang sama, mendapat kiriman lumpur secara rutin hampir dua bulan sekali. Kasus ini sudha lama terjadi, dan berberapa kali kita adukan tetapi tidak pernah selesai. Kejadian terakhir adanya air PDAM bercampur lumpur ini adalah dua minggu yang lalu. Apakah ini membahayakan? Jelas sangat membahayakan. Apakah ini persoalan besar? Jelas persoalan besar, karena rutin terjadi. Apakah ini menggangu ketertiban umum? Jelas, karena yang merasakan tidak hanya satu keluarga saja, melainkan banyak keluarga. Apakah ini bentuk kejahatan? Bisa jadi, karena memungkinkan untuk diajukan ke pengadilan sebagai kasus yang merugikan konsumen. Sekali lagi, mohon PDAM Jombang tidak mengirimi kami air berlumpur. Sebelum keresahan itu meluas dan kesehatan masyarakat terganggu.

E. Musyadad
Warga Epistolohik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Sunday, August 13, 2006

Sepakbola Yang Tidak Membebani

Kompas Jateng, 2 Agustus 2006
Sepakbola Yang Tidak Membebani

Pertandingan Liga Djarum memberi kejutan. Persekabpas dan Persmin yang sebelumnya diposisikan sebagai tim underdog justru memelekkan mata kita. Persekabpas dan Persmin lolos ke semi final. Tentu ini catatan yang bagus. Bandingkan dengan tim sepak bola daerah lain yang disupport habis-habisan oleh anggaran (ABPD) pemerintah daerahnya, tetapi mereka tidak berhasil lolos.
Persela Lamongan misalnya, mendapat alokasi bantuan dana sebesar 8 milyar. Konon anggaran ini hampir sama besarnya dengan anggaran untuk bantuan pembangunan sekian ratus sekolahan dari SD sampai SMU dan sekaligus untuk sekian ribu guru ngaji dan swasta. Atau kita tengok tim dari Jogjakarta, Pemda Kab. Sleman mengalokasiakan 10 miliar untuk PSS Sleman. Dan masih banyak lagi tim yang menggunakan anggaran lebih dari 10 juta, tetapi tidak berhasil ke babak berikutnya. Seperti Persija yang konon menghabiskan ABPD lebih dari 15 miliar.
Tim-tim daerah yang menghabiskan anggaran rakyat tersebut gagal untuk menunjukan kehebatannya. Justru tim yang hanya bermodal “dengkul” justru mampu memberikan permainan yang menarik dan menghibur. Fakta ini perlu kita renungkan. Kita butuh sepak bola nasional maju, tetapi harus berangkat dari olahraga yang tidak menghabiskan anggaran. Anggaran ini lebih difokuskan kepada pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Mungkin saatnya, memajukan sepakbola tanpa menyedot ABPD. Maju sepakbola tanpa membebani anggaran kita.

E. Musyadad
Warga Epistolohik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419
musyadad@yamajo.or.id

Sweeping Bajakan Harus Dimulai Dari Penegak Hukum

Harian Radar Kediri, 15 Juli 2006
Sweeping Bajakan Harus Dimulai Dari Penegak Hukum

VCD bajakan. DVD bajakan. Banyak kepingan compact disk yang beredar di pasaran itu adalah bajakan. Mereka yang berjualan di sweeping. Rental-rental kaset disweeping. Warnet-warnet yang tidak mengunakan program orisinil di sweeping. Jauh sebelumnya, mereka yang menggunakan produk-produk bajakan ini masih diberi toleransi oleh pihak penegak hukum (polisi), tentunya dengan konsekuensi mereka harus memberi tip uang atau atensi dalam bahasa PKL VCD, kepada polisi. Dalam kasus di Kediri, PKL VCD bajakan harus menyediakan 20 juta per bulan untuk memberi tip kepada polisi dari Polres hingga Polda.
Hal sama juga terjadi pada pedagang jamu. Karena alasan tidka punya ijin, alias jamunya bajakan, mereka digusur dan disweeping. Sayang, situasi ini (VCD bajakan atau jamu tanpa ijin ini), justru dimanfaatkan oleh penegak hukum untuk menimbun kekayaan. PKL dipajak, warnet-warnet diperas, rental wajib setor uang bulanan, pedagang jamu dipaksa untuk memberi uang pengaman dan seterusnya. Sekarang, kebijakan polisi sedikit bergeser. Mereka melakukan sweeping produk-produk bajakan, tidak hanya kepada pedagangnya tetapi juga konsumennya mulai menjadi target sweeping juga. Tindakan ini mungkin hebat, tetapi tidak tepat. Kalau mau menjadi pendekar penegak hukum yang hebat, mereka karus membangun paradigma baru, bahwa yang harus sadar hukum pertama kali adalah aparat hukum dan pemerintahan itu sendiri.
Kenapa? Karena di kantor-kantor aparat negara (pemda, polisi, kejaksaan, kehakiman, dll) sebenarnya banyak komputer yang menggunakan sofware bajakan, di rumah-rumah aparat negara banyak VCD dan DVD bajakan. Maka, dari diri mereka sendiri yang harus menjadi contoh, dan polisi harus merasia diri mereka sendiri sebelum merasia masyarakat. Di kantor-kantor Pemda harus di sweeping, kantor-kantor pengadilan harus dibersihkan dari produk bajakan, dan seterusnya. Setelah itu, boleh membasmi bajakan di PKL, boleh sweeping di pasar-pasar, rental-rental, warnet-warnet. Karena dengan demikian, tidak akan terjadi palak-memalak, sogok menyogok. Dan akhirnya, negara juga tidak dirugikan oleh produk bajakan ini yang lolos pajak. Sekali lagi sweeping bajakan harus dimulai dari penegak hukum itu sendiri.


E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419
Email: musyadad@yamajo.or.id

Stadiun yang “Demokratis”

Kompas Jatim, 19 Juli 2006
Stadiun yang “Demokratis”

Setelah kita dihibur oleh hiruk-pikuk dengan piala dunia, saatnya kita menegok sepak bola kita. Pertandingan Liga Jarum Super memasuki babak 8 besar yang salah satunya digelar di Gresik Jawa Timur. Tentu saja pertandingan ini adalah sebuah sejarah sepak bola Jawa Timur. Namun, ada yang lebih menarik lagi untuk dicatat dalam sejarah perkembangan sepak bola di Indonesia. Kalau kita para penggila bola, tentu melihat kawan-kawan kita, para suporter yang sangat dekat dengan lapangan hijau. Mereka bisa melihat tim kesayangannya lebih dekat, dan yang paling penting tanpa dihalang-halangi oleh pagar besi. Lapangannya sudah mengadopsi gaya stadiun yang dipakai di Liga Inggris. Suporter bisa lebih semangat mendukung timnya. Dan yang sangat menggembirakan, pada pertandingan babak 8 besar kemarin, para pecandu bola ini melihat dengan tertib. Sebuah pemandangan yang menggembirakan. Melihat bola dari jarak dekat dan tanpa dibatasi pagar besi ini menjadi impian para maniak bola di tanah air. Semoga virus ini menyebar ke kota-kota lain dengan membangun stadiun yang lebih manusiawi, stadiun yang memberi akses yang lebih banyak kepada para pecandu bola. Mungkin inilah yang diimpikan banyak orang, menikmati hiburan yang murah dalam stadiun yang “demokratis”, stadiun yang tidak dibata-batasi. Maju terus sepak bola Jawa Timur.

E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Sunday, April 23, 2006

PSSI TIDAK PROFESIONAL

PSSI TIDAK PROFESIONAL
Kompas, Edisi Maret 2006

Arema dan Persipura gagal “menari-nari” di tingkat asia. Dua duta bangsa ini tidak bisa mengikuti pertandingan yang paling bergengsi di Asia karena keteledoran PSSI yang terlambat meregistrasikan kedua klub ini. Maka pantas saja banyak pendukung menyesalkan kinerja PSSI. Banyak kasus yang menunjukan kalau PSSI seperti lembaga kampung yang hanya bisa “ngurusi” sepakbola tarkam (antarkampung). Belum lagi korupsi yang “menggila” di PSSI, tentu saja perlu disorot PSSI yang dipimpin pengusaha yang tidak jujur dan sering terjerat kasus kriminal. Maka, saatnya PSSI harus dikepung dengan protes, saran, dan kritik kita semua. Karena olahraga adalah ajang menunjukkan kejujuran dan sportifitas. Dan PSSI sudah mengkhianati sendiri filsafat olahraga ini. Dan mungkin ungkapan para pendukung Arema yang Militan dalam aksi protes minggu lalu ada benarnya, Arema Duta Bangsa, PSSI Tuna Susila. Harus segera ada pemberontakan terhadap PSSI yang cacat moral ini dan diganti sistem dan orang baru.


E. Musyadad
Warga Epistoholik IndonesiaJl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Mari Menilang Polisi

Mari Menilang Polisi
Surya, 6 Maret 2006

Jalur kota Jombang ke arah Kertosono, sering terjadi “pengintaian” oleh polisi. Kebanyakan kasus yang terjadi adalah pelanggaran marka. Tindakan ini baik, karena mengantisipasi potensi kecelakaan. Yang tidak baik adalah pelanggaran ini dapat dibayar dengan uang, bukannya ditilang. Hal yang sama terjadi di Kandangan. Kalau tidak di utaranya pasar (pasar Kandangan kearah Jombang) biasanya terjadi di selatannya pasar (pasar Kandangan kearah Malang). Tetapi di Kandangan ini bukan pengintaian, melainkan operasi. Tindakan ini juga baik, karena mengantisipasi potensi curanmor dan pelanggaran lainnya. Sekali lagi yang tidak baik adalah pelanggaran ini dapat dibayar dengan uang, bukannya ditilang. Saya sendiri pernah melanggar marka di Kertosono. Menariknya, karena saya mengaku wartawan, pak polisi itu berbaik hati memperbolehkan kami terus berjalan. Namun, sebelumnya kami sempat negoisasi dan bersepakat harga Rp.30 ribu kalau tidak mau ditilang. Pengalaman ini tidak hanya terjadi pada diri saya, banyak teman-teman saya yang mengalalami hal serupa. Artinya, pak polisi memang memiliki dua tradisi, ditilang atau dibayar, tinggal negoisasi.
Catatan ini tentunya buruk bagi wajah kepolisian kita. Sebagai penegak hukum seharusnya pak polisi yang harus tegak dulu, tahan banting, dan tahan dari godaan apapun. Untuk mempercepat penegakan ini kita juga harus ikut urun pekerjaan. Misalnya dengan mencatat, melaporkan pak polisi yang masih saja mau disuap dan sering kali mencari-cari kesalahan para pengendara. Saya sudah memulai hal ini, menilang (mencatat) polisi mana yang sering “dirasani” banyak orang tersebut. Mungkin suatu saat tinggal mempublikasikannya.

KETERANGAN: tulisan ini juga dimuat di Kompas Edisi April 2006

E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Friday, March 31, 2006

Pejabat Negara Perongrong Pancasila

Pejabat Negara Perongrong Pancasila
Surya, 21 Januari 2006

Setelah kita hidup sekian lama dalam dasar negara Pancasila, apa yang kita dapat? Kita dihadapkan pada potensi disintegrasi bangsa yang semakin nyata. Kita hidup dalam keterpurukan akibat budaya korupsi. Apakah ini menunjukkan kalau ada yang tidak beres dengan kebernegaraan kita? Apakah ini juga termasuk dengan ketidakberesan dasar negara kita, Pancasila?
Maka, jika kita tidak ingin pondasi negara runtuh dan disfungsi serta masih menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, kita harus mengembalikan fungsi Pancasila secara tegas dan utuh. Konkritnya, bagaimana kita bersikap terhadap praktek korupsi yang terjadi sekian lama dalam negara Pancasila? Paling tidak mulai sekarang kita harus bersikap bahwa musuh Pancasila yang paling bahaya bukan kelompok radikal kanan atau kiri, tetapi adalah praktik korupsi. Dengan tegas, kita harus berani berkata bahwa anggota dewan, polisi, jaksa, hakim, militer, bupati, walikota dan gubernur yang korup, mereka semua adalah perongrong dan penentang Pancasila.

E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Tahun Baru 2006, Tahun Kejayaan Sepeda Motor

Tahun Baru 2006, Tahun Kejayaan Sepeda Motor
Kompas Jatim, 17 Januari 2006



Tahun baru 2006 sudah dimulai. Masyarakat merayakan dengan keluar rumah dan keliling kota seperti tahun-tahun biasanya. Namun, ada yang berbeda pada tahun ini, paling tidak dalam pengamatan saya di kota Jombang. Dulu hiruk pikuk kota menjelang tahun baru di warnai orang berjalan kaki, atau pakai sepeda motor dan mobil. Namun, tahun baru 2006 kali ini, tidak ada lagi yang berjalan kaki, bahkan yang menggunakan mobil hanya satu dua saja. Jalan dipenuhi oleh sepeda motor. Semua sepeda motor tumpah dan seolah-olah jalan hanya milik sepeda motor.
Gelaja ini semakin mengukuhkan bahwa transportasi hanya didefinisikan dalam kerangka “mainstream” saja, transportasi adalah kendaraan bermotor saja, kendaraan non motor hilang entah kemana. Mainstream ini juga diterjemahkan dalam pembangunan trotoar yang tinggi, banyak lekukan, sehingga susah diakses. Diaplikasikan juga dalam pembangunan jalan yang tidak mendukung jalan/pedestarian untuk sepeda onthel atau becak.
Akhirnya, jalan hanya dikuasai oleh kendaraan bermotor. Dampaknya polusi tentu meningkat, tingkat kecelakaan meninggi, lalu lintas menjadi semrawut. Potensi transportasi menjadi medan desktruktif bagi kemanusiaan dan ekologi tahun 2006 kedepan akan meningkat, karena pesatnya kendaraan bermotor turun ke jalan. Bayangkan, dalam satu bulan saja Kota Jombang yang kecil ini, diisi 1,8 juta sepeda motor baru. Bagaimana dengan Surabaya atau Malang? Tentu lebih besar. Mungkin inilah yang segera kita pikirkan, jalan itu untuk manusia (pejalan kaki, onthel, becak,dokar, dll) bukan untuk kendaraan bermotor saja. Transportasi bukan hanya motor , tetapi juga non motor.


E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Kaus Krenceng: Siang Hari Sidang, Malam Hari Berkumpul

Kasus Krenceng: Siang Hari Sidang, Malam Hari Berkumpul
Jawa Pos Radar Kediri, 24 Des 2005

Persoalan warga Krenceng yang menuntut ADM Perhutani Kediri telah berakhir setelah sekian lama sidang. Majelis hakim memutuskan terdakwa ADM Perhutani Kediri, Ir. Herdiyanto tidak bersalah dan dinyatakan bebas. Banyak kelompok yang telah menduga sebelumnya, kalau kasus ini berakhir dengan menyimpan rasa “ketidakadilan”. Putusan Pengadilan Negeri Kediri terasa “menyakitkan” bagi petani semua. Karena mereka (khusunya 34 warga Kreceng, temasuk ibu-ibu) pernah meringkuk di penjara akibat Perhutani mem-polisi-kan mereka.
Menariknya, siang hari tanggal 21 Desember 2005 putusan dibacakan, malam harinya banyak aktor yang terlibat dalam kasus ini “berkumpul” di hotel Lotus Kediri. Ada beberapa anggota majelis hakim yang menangani kasus Krenceng, ada beberapa anggota Perhutani terlihat di hotel tersebut. Kebetulan, saya juga di hotel tersebut untuk alasan tertentu sehingga saya tahu mereka ada disana hingga larut malam. Entah sengaja (direncanakan), atau tanpa sengaja (tidak direncanakan), peristiwa ini menjadi menarik untuk dianalisis, karena memunculkan dugaan-dugaan, pertanyaan-pertanyaan dan rasan-rasan banyak orang. Terlebih saya selalu mengikuti kasus Krenceng ini dari awal.
Pertanyaannya, adakah pembicaraan tertentu atas kasus Krenceng dalam pertemuan di Hotel Lotus tersebut? Dugaannya, mungkin kasus Krenceng selesai hanya dari bawah meja dan ada kasak kusuk yang terjadi. Pertanyaan dan dugaan lain mungkin-mungkin saja. Maka, kalau hal ini tidak diperjelas, pertemuan ini akan banyak juga menimbulkan rasan-rasan banyak orang. Mungkin ada yang “ngrasani” bahwa hakim di Kediri berpotensi melanggar kode etik. Mungkin juga ada yang “ngrasani” Perhutani, bahwa mereka tidak punya keinginan untuk menyejahterakan rakyat sekitar hutan. Mungkin juga ada yang “ngrasani” lain-lain dan terus berkembang.
Sehingga, saya hanya berharap ada penjelasan dari pertemuan tersebut, baik dari majelis hakim, Perhutani atau siapa saja yang dapat menjelaskan. Agar rasan-rasan ini tidak berkembang secara luas yang justru akan menimbulkan dampak buruk terhadap aparat Negara dan siapa saja yang terlibat dalam kasus Krenceng. Semoga.

E. Musyadad
Warga Epistolohik Indonesia
Jl.Patimura VI A Batu Temas Jatim

Surat Pembaca Adalah Surat Perdamaian

Surat Pembaca Adalah Surat Perdamaian
Surya, .....

"Karena peperangan berawal dari dalam pikiran manusia, maka di dalam pikiran manusia itulah upaya untuk mempertahankan perdamaian harus dibangun". Kalimat ini adalah kutipan yang ada dalam kontitusi UNESCO. Sepertinya kalimat ini belum terlalu lengkap jika tidak ditambahi dengan kalimat berikut: “Dan menulis apa yang kita pikirkan adalah langkah awal untuk mewujudkan perdamaian itu”.
Perdamaian adalah harapan peradaban ini. Kita tidak bisa keluar dari kekerasan yang ada dalam sejarah perjalanan ini, jika tidak diperjuangkan. Perdamaian itu dimulai dari pikiran, dan agar semua orang tahu tentang itu harus ditulis agar semua orang turut berjuang.
Salah satu cara mempopulerkan tulisan perdamaian itu adalah dengan Surat Pembaca. Surat Pembaca adalah ruang publik yang disediakan media untuk sumbang saran, kritik, komplain dan menyebar ide lainnya. Surat Pembaca adalah cara menulis tentang keresahan dan ketidakadilan, mengabarkan tentang kebaikan, mengontrol sistem sosial yang dirasa tidak benar, sampai menulis tentang informasi ringan tetapi penting bagi banyak orang. Surat Pembaca tidak saja berpengaruh terhadap untuk siapa surat itu “dikepadakan”, tetapi juga menujukan eksistensi penulis itu sendiri. Seperti adigum yang dibawa oleh Warga Epistoholik Indonesia (komunitas yang sudah mengalami penyakit kecanduan terhadap surat pembaca) bahwa saya menulis dan saya ada (episto ergo sum). Surat Pembaca adalah surat perdamaian. Mari menulis Surat Pembaca. Mari menjadi wartawan seumur hidup bagi perdamaian.

NB: Tulisan ini sekaligus untuk memperingati ulang tahun Warga Epistoholik Indonesia yang jatuh pada tangal 26 Januari.

E. Musyadad
Warga Epistolohik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

laki-laki dimaafkan, perempuan dihukum

LAKI-LAKI DIMAAFKAN, PEREMPUAN DIHUKUM
Surya, 2005

Seorang penyair Meksiko abad 17, Sor Juan Ines de la Cruz, pernah mengatakan “Siapa yang harus dipersalahkan dalam suatu kemaksiatan bersama? Apakah perempuan yang dibayar untuk berdosa? Ataukah laki-laki yang membayar untuk berdosa?” Syair bijak ini relevan ketika banyak pemerintah daerah latah membuat peraturan daerah (perda) tentang anti kemaksiatan dan prostitusi. Asumsi perda dalam menyikapi prostisusi ini, selalu perempuannya yang dikejar-kejar, ditangkap dan dikarantina.
Perilaku salah ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, masyarakat seringkali juga turut menghakimi perempuan yang bekerja dalam sektor ini. Mereka dianggap satu-satunya pelaku tunggal yang terus merayu dan menebar pesona kepada laki-laki. Sehingga, laki-laki diposisikan sebagai korban perempuan. Kalau menyitir syair diatas, bukankah tidak akan ada “kemaksiatan” jika laki-laki tidak mencari, mengundang dan membeli para perempuan itu. Maka, dalam kasus seperti ini, seharusnya laki-laki sebagai pelakunya juga harus dibriefing, dimarahi, dan kalau perlu juga ditangkap serta dikarantina.
Diluar sikap setuju ataupun tidak setuju terhadap peraturan anti prostitusi semacam ini, seharusnya perda tersebut memuat materi yang adil tentang siapa saja yang berdosa dalam kemaksiatan bersama tersebut, bukan perempuan saja yang dihukum. Kalau hal ini tidak terjadi, sebenarnya kebijakan politik yang telah dibuat semakin memperburuk posisi perempuan. Dan sekali lagi, hukum memvonis perempuan tanpa alasan dan justru memaafkan laki-laki walaupun mereka berbuat dosa sekalipun.

E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419
Pesta Blogger 2008