Friday, March 31, 2006

Pejabat Negara Perongrong Pancasila

Pejabat Negara Perongrong Pancasila
Surya, 21 Januari 2006

Setelah kita hidup sekian lama dalam dasar negara Pancasila, apa yang kita dapat? Kita dihadapkan pada potensi disintegrasi bangsa yang semakin nyata. Kita hidup dalam keterpurukan akibat budaya korupsi. Apakah ini menunjukkan kalau ada yang tidak beres dengan kebernegaraan kita? Apakah ini juga termasuk dengan ketidakberesan dasar negara kita, Pancasila?
Maka, jika kita tidak ingin pondasi negara runtuh dan disfungsi serta masih menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, kita harus mengembalikan fungsi Pancasila secara tegas dan utuh. Konkritnya, bagaimana kita bersikap terhadap praktek korupsi yang terjadi sekian lama dalam negara Pancasila? Paling tidak mulai sekarang kita harus bersikap bahwa musuh Pancasila yang paling bahaya bukan kelompok radikal kanan atau kiri, tetapi adalah praktik korupsi. Dengan tegas, kita harus berani berkata bahwa anggota dewan, polisi, jaksa, hakim, militer, bupati, walikota dan gubernur yang korup, mereka semua adalah perongrong dan penentang Pancasila.

E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Tahun Baru 2006, Tahun Kejayaan Sepeda Motor

Tahun Baru 2006, Tahun Kejayaan Sepeda Motor
Kompas Jatim, 17 Januari 2006



Tahun baru 2006 sudah dimulai. Masyarakat merayakan dengan keluar rumah dan keliling kota seperti tahun-tahun biasanya. Namun, ada yang berbeda pada tahun ini, paling tidak dalam pengamatan saya di kota Jombang. Dulu hiruk pikuk kota menjelang tahun baru di warnai orang berjalan kaki, atau pakai sepeda motor dan mobil. Namun, tahun baru 2006 kali ini, tidak ada lagi yang berjalan kaki, bahkan yang menggunakan mobil hanya satu dua saja. Jalan dipenuhi oleh sepeda motor. Semua sepeda motor tumpah dan seolah-olah jalan hanya milik sepeda motor.
Gelaja ini semakin mengukuhkan bahwa transportasi hanya didefinisikan dalam kerangka “mainstream” saja, transportasi adalah kendaraan bermotor saja, kendaraan non motor hilang entah kemana. Mainstream ini juga diterjemahkan dalam pembangunan trotoar yang tinggi, banyak lekukan, sehingga susah diakses. Diaplikasikan juga dalam pembangunan jalan yang tidak mendukung jalan/pedestarian untuk sepeda onthel atau becak.
Akhirnya, jalan hanya dikuasai oleh kendaraan bermotor. Dampaknya polusi tentu meningkat, tingkat kecelakaan meninggi, lalu lintas menjadi semrawut. Potensi transportasi menjadi medan desktruktif bagi kemanusiaan dan ekologi tahun 2006 kedepan akan meningkat, karena pesatnya kendaraan bermotor turun ke jalan. Bayangkan, dalam satu bulan saja Kota Jombang yang kecil ini, diisi 1,8 juta sepeda motor baru. Bagaimana dengan Surabaya atau Malang? Tentu lebih besar. Mungkin inilah yang segera kita pikirkan, jalan itu untuk manusia (pejalan kaki, onthel, becak,dokar, dll) bukan untuk kendaraan bermotor saja. Transportasi bukan hanya motor , tetapi juga non motor.


E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

Kaus Krenceng: Siang Hari Sidang, Malam Hari Berkumpul

Kasus Krenceng: Siang Hari Sidang, Malam Hari Berkumpul
Jawa Pos Radar Kediri, 24 Des 2005

Persoalan warga Krenceng yang menuntut ADM Perhutani Kediri telah berakhir setelah sekian lama sidang. Majelis hakim memutuskan terdakwa ADM Perhutani Kediri, Ir. Herdiyanto tidak bersalah dan dinyatakan bebas. Banyak kelompok yang telah menduga sebelumnya, kalau kasus ini berakhir dengan menyimpan rasa “ketidakadilan”. Putusan Pengadilan Negeri Kediri terasa “menyakitkan” bagi petani semua. Karena mereka (khusunya 34 warga Kreceng, temasuk ibu-ibu) pernah meringkuk di penjara akibat Perhutani mem-polisi-kan mereka.
Menariknya, siang hari tanggal 21 Desember 2005 putusan dibacakan, malam harinya banyak aktor yang terlibat dalam kasus ini “berkumpul” di hotel Lotus Kediri. Ada beberapa anggota majelis hakim yang menangani kasus Krenceng, ada beberapa anggota Perhutani terlihat di hotel tersebut. Kebetulan, saya juga di hotel tersebut untuk alasan tertentu sehingga saya tahu mereka ada disana hingga larut malam. Entah sengaja (direncanakan), atau tanpa sengaja (tidak direncanakan), peristiwa ini menjadi menarik untuk dianalisis, karena memunculkan dugaan-dugaan, pertanyaan-pertanyaan dan rasan-rasan banyak orang. Terlebih saya selalu mengikuti kasus Krenceng ini dari awal.
Pertanyaannya, adakah pembicaraan tertentu atas kasus Krenceng dalam pertemuan di Hotel Lotus tersebut? Dugaannya, mungkin kasus Krenceng selesai hanya dari bawah meja dan ada kasak kusuk yang terjadi. Pertanyaan dan dugaan lain mungkin-mungkin saja. Maka, kalau hal ini tidak diperjelas, pertemuan ini akan banyak juga menimbulkan rasan-rasan banyak orang. Mungkin ada yang “ngrasani” bahwa hakim di Kediri berpotensi melanggar kode etik. Mungkin juga ada yang “ngrasani” Perhutani, bahwa mereka tidak punya keinginan untuk menyejahterakan rakyat sekitar hutan. Mungkin juga ada yang “ngrasani” lain-lain dan terus berkembang.
Sehingga, saya hanya berharap ada penjelasan dari pertemuan tersebut, baik dari majelis hakim, Perhutani atau siapa saja yang dapat menjelaskan. Agar rasan-rasan ini tidak berkembang secara luas yang justru akan menimbulkan dampak buruk terhadap aparat Negara dan siapa saja yang terlibat dalam kasus Krenceng. Semoga.

E. Musyadad
Warga Epistolohik Indonesia
Jl.Patimura VI A Batu Temas Jatim

Surat Pembaca Adalah Surat Perdamaian

Surat Pembaca Adalah Surat Perdamaian
Surya, .....

"Karena peperangan berawal dari dalam pikiran manusia, maka di dalam pikiran manusia itulah upaya untuk mempertahankan perdamaian harus dibangun". Kalimat ini adalah kutipan yang ada dalam kontitusi UNESCO. Sepertinya kalimat ini belum terlalu lengkap jika tidak ditambahi dengan kalimat berikut: “Dan menulis apa yang kita pikirkan adalah langkah awal untuk mewujudkan perdamaian itu”.
Perdamaian adalah harapan peradaban ini. Kita tidak bisa keluar dari kekerasan yang ada dalam sejarah perjalanan ini, jika tidak diperjuangkan. Perdamaian itu dimulai dari pikiran, dan agar semua orang tahu tentang itu harus ditulis agar semua orang turut berjuang.
Salah satu cara mempopulerkan tulisan perdamaian itu adalah dengan Surat Pembaca. Surat Pembaca adalah ruang publik yang disediakan media untuk sumbang saran, kritik, komplain dan menyebar ide lainnya. Surat Pembaca adalah cara menulis tentang keresahan dan ketidakadilan, mengabarkan tentang kebaikan, mengontrol sistem sosial yang dirasa tidak benar, sampai menulis tentang informasi ringan tetapi penting bagi banyak orang. Surat Pembaca tidak saja berpengaruh terhadap untuk siapa surat itu “dikepadakan”, tetapi juga menujukan eksistensi penulis itu sendiri. Seperti adigum yang dibawa oleh Warga Epistoholik Indonesia (komunitas yang sudah mengalami penyakit kecanduan terhadap surat pembaca) bahwa saya menulis dan saya ada (episto ergo sum). Surat Pembaca adalah surat perdamaian. Mari menulis Surat Pembaca. Mari menjadi wartawan seumur hidup bagi perdamaian.

NB: Tulisan ini sekaligus untuk memperingati ulang tahun Warga Epistoholik Indonesia yang jatuh pada tangal 26 Januari.

E. Musyadad
Warga Epistolohik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419

laki-laki dimaafkan, perempuan dihukum

LAKI-LAKI DIMAAFKAN, PEREMPUAN DIHUKUM
Surya, 2005

Seorang penyair Meksiko abad 17, Sor Juan Ines de la Cruz, pernah mengatakan “Siapa yang harus dipersalahkan dalam suatu kemaksiatan bersama? Apakah perempuan yang dibayar untuk berdosa? Ataukah laki-laki yang membayar untuk berdosa?” Syair bijak ini relevan ketika banyak pemerintah daerah latah membuat peraturan daerah (perda) tentang anti kemaksiatan dan prostitusi. Asumsi perda dalam menyikapi prostisusi ini, selalu perempuannya yang dikejar-kejar, ditangkap dan dikarantina.
Perilaku salah ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, masyarakat seringkali juga turut menghakimi perempuan yang bekerja dalam sektor ini. Mereka dianggap satu-satunya pelaku tunggal yang terus merayu dan menebar pesona kepada laki-laki. Sehingga, laki-laki diposisikan sebagai korban perempuan. Kalau menyitir syair diatas, bukankah tidak akan ada “kemaksiatan” jika laki-laki tidak mencari, mengundang dan membeli para perempuan itu. Maka, dalam kasus seperti ini, seharusnya laki-laki sebagai pelakunya juga harus dibriefing, dimarahi, dan kalau perlu juga ditangkap serta dikarantina.
Diluar sikap setuju ataupun tidak setuju terhadap peraturan anti prostitusi semacam ini, seharusnya perda tersebut memuat materi yang adil tentang siapa saja yang berdosa dalam kemaksiatan bersama tersebut, bukan perempuan saja yang dihukum. Kalau hal ini tidak terjadi, sebenarnya kebijakan politik yang telah dibuat semakin memperburuk posisi perempuan. Dan sekali lagi, hukum memvonis perempuan tanpa alasan dan justru memaafkan laki-laki walaupun mereka berbuat dosa sekalipun.

E. Musyadad
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Ki Hajar Dewantara I No. 11 Jombang Jawa Timur 61419
Pesta Blogger 2008